Bismillah.
Penulis -semoga Allah merahmatinya- melanjutkan penyebutan dalil-dalil yang menunjukkan agungnya tauhid bagi seorang muslim.
Beliau berkata :
عن معاذ بن جبل -رضي الله عنه- قال: “كنت رديف النبي -صلى الله عليه وسلم- على حمار، فقال لي: ((يا معاذ، أتدري ما حق الله على العباد وما حق العباد على الله؟)) قلت: الله ورسوله أعلم؟ قال: ((حق الله على العباد أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئاً، وحق العباد على الله أن لا يعذب من لا يشرك به شيئاً)) قلت: يا رسول الله، أفلا أبشر الناس؟ قال: ((لا تبشرهم فيتكلوا)) [أخرجاه في الصحيحين]“.
Dari Mu’adz bin Jabal -semoga Allah meridhainya- beliau berkata :
Dahulu saya dibonceng oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seekor keledai. Beliau berkata kepadaku, “Wahai Mu’adz, apakah kamu mengetahui apakah hak Allah atas hamba dan apa hak hamba kepada Allah?” Aku menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun, dan hak hamba kepada Allah yaitu Allah tidak akan mengazab orang yang tidak berbuat syirik kepada-Nya.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah sebaiknya kabar gembira ini aku sebarkan kepada orang-orang?” Beliau menjawab, “Jangan, karena hal itu akan membuat mereka bersandar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
# Hukum, Makna dan Keutamaan Tauhid
Syaikh Shalih al-Ushaimi hafizhahullah menjelaskan di dalam keterangannya bahwa hadits ini memberikan faidah tentang wajibnya bertauhid. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Hak Allah atas hamba…” (lihat Syarh Kitab Tauhid, hlm. 9)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan di dalam keterangannya bahwa hadits ini memberikan faidah tentang tafsiran dari tauhid itu sendiri; bahwa hakikat tauhid adalah dengan beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab Tauhid, hlm. 22)
Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah menjelaskan bahwa hadits ini mengandung faidah bahwasanya seorang yang beribadah dengan benar tentu akan berjuang membersihkan dirinya dari segala bentuk syirik besar ataupun kecil. Adapun orang yang tidak membersihkan diri serta tidak menjauhi syirik maka dia bukanlah orang yang melakukan ibadah secara hakiki; bahkan dia adalah pelaku kemusyrikan karena telah mengangkat sekutu/tandingan bagi Allah dalam hal ibadah kepada-Nya (lihat Hasyiyah Kitab Tauhid, hlm. 21, keterangan serupa juga telah disampaikan oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah dalam Fathul Majid)
Syaikh Ahmad an-Najmi rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dari hadits ini tentang keutamaan orang yang meninggal di atas tauhid dan tidak berbuat syirik bahwa dia ‘tidak akan diazab oleh Allah’ artinya dia tidak diazab dengan siksaan sebagaimana siksaan neraka untuk orang kafir dan musyrik yang kekal di dalamnya selama-lamanya (lihat asy-Syarh al-Mujaz, hlm. 14)
# Khawatir Disalahpahami
Kemudian, apabila kita cermati kembali hadits di atas, kita melihat bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu penyayang kepada umatnya. Setelah beliau menjelaskan besarnya keutamaan dan kedudukan tauhid ini maka beliau pun mengingatkan bahwa jangan sampai hal ini membuat manusia meremehkan amal salih atau menyepelekan dosa-dosa. Oleh sebab itulah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hadits ini disebarkan secara luas begitu saja kepada manusia tanpa ada penjelasan maksud dan konsekuensinya. Beliau mengatakan, “Jangan kamu sebarkan berita gembira ini kepada mereka; karena hal itu akan membuat mereka bersandar.”
Penulis Kitab Tauhid -semoga Allah merahmatinya- pun memberikan keterangan berharga setelah membawakan hadits ini. Beliau menyebutkan di dalam salah satu masa’il atau faidah dari bab ini yaitu dikhawatirkan orang terlalu bersandar kepada luasnya rahmat Allah. Maksudnya, jangan sampai hadits ini disalahpahami sehingga membuat orang malas beramal atau meremehkan dosa di bawah syirik dengan alasan yang penting sudah bertauhid dan bersih dari syirik.
Sebenarnya apabila kita cermati ulang hadits di atas, penyebutan syarat ‘tidak mempersekutukan dengan Allah sesuatu apapun’ alias tidak berbuat syirik sama sekali; ini bukanlah syarat yang ringan dan mudah untuk diperoleh kecuali bagi orang yang Allah beri kemudahan. Oleh sebab itu para ulama kita terdahulu mengatakan, “Tidaklah aku berjuang untuk menundukkan diriku dengan sebuah perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk ikhlas.” Tidak berbuat syirik itu luas tercakup di dalamnya syirik besar dan syirik kecil. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan bahwa syirik di tengah umat ini lebih samar daripada bekas rayapan seekor semut..
# Bijak dalam Menyebarkan Berita
Dari hadits tersebut juga kita bisa melihat bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kita untuk pandai-pandai memilah informasi dan menempuh sikap yang tepat dalam menanggapinya. Meskipun hadits ini berisi kebenaran -karena ia merupakan wahyu- dan berisi kabar gembira -yang akan membahagiakan kaum muslim- tetapi karena dikhawatirkan muncul dampak negatif akibat penyebarannya maka berita ini tidak serta-merta disebarkan oleh Mu’adz berdasarkan arahan dari Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu para ulama hadits menyebutkan bahwa hadits ini disampaikan oleh Mu’adz radhiyallahu’anhu menjelang wafatnya; karena beliau tidak ingin terjerumus dalam dosa menyembunyikan ilmu.
Inilah salah satu bukti kedalaman fikih para ulama terdahulu. Dan ia mengandung pelajaran bahwa semestinya seorang muslim mencermati akibat dari segala sesuatu yang hendak dia lakukan, jangan terburu-buru atau bersikap serampangan dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan orang banyak. Dan ia juga memberikan faidah tentang pentingnya sikap hikmah dalam berdakwah. Hikmah adalah melakukan atau mengatakan sesuatu yang tepat pada waktu dan kesempatan yang tepat dengan cara yang tepat. Oleh sebab itu Allah perintahkan kita untuk berdakwah mengajak manusia ke jalan Allah dengan penuh hikmah. Dan bukanlah termasuk hikmah apabila kita menyebarkan semua berita yang kita dengar -walaupun itu sekilas terdengar menyenangkan-, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati kedustaan bagi orang yang menuturkan semua yang dia dengar…
Pada era media sosial dan kemajuan teknologi informasi seperti masa kita sekarang ini kiranya pelajaran ini patut untuk kita renungkan kembali.
Di sisi lain, hadits di atas juga memberikan pelajaran bagi kita bahwa dalam memahami dalil-dalil agama kita harus utuh. Tidak boleh mengambil sebagian dalil lalu meninggalkan dalil lain yang melengkapinya. Karena dalil itu saling menjelaskan satu sama lain. Pentingnya ada motivasi atau targhib tetapi juga penting adanya tarhib yaitu peringatan dan ancaman. Demikian pula ia mengingatkan kepada kita untuk tidak merasa bangga diri dan ujub dengan amal-amal kita atau merasa dirinya sudah bertauhid. Jangan kita terlena dan terbuai oleh keluasan rahmat Allah sehingga kita melupakan pedihnya azab Allah dan kerasnya hukuman-Nya… Sebagaimana kita juga tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah dan kita harus terus bertaubat kepada-Nya. Di samping itu kita juga tidak boleh meremehkan seorang muslim yang bertauhid, apalagi meremehkan tauhid!